Undang-Undang Ketenagakerjaan – menjadi fondasi utama hubungan antara pekerja dan pengusaha di Indonesia. Aturan ini tidak hanya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak, tetapi juga menjadi tolok ukur keadilan sosial di dunia kerja.
Selama dua dekade terakhir, pembahasan seputar Undang-Undang Ketenagakerjaan terus berkembang, terutama sejak munculnya perubahan besar melalui Undang-Undang Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law.
Bagi sebagian kalangan, Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dianggap memberikan perlindungan maksimal bagi pekerja karena memuat aturan pesangon yang besar, pembatasan kerja kontrak, dan prosedur ketat dalam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Namun, pemerintah menilai bahwa aturan lama kurang fleksibel dan menghambat pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja.
Sebagai respons terhadap tantangan zaman, lahirlah Undang-Undang Ketenagakerjaan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Tapi, apakah perubahan ini benar-benar membawa perlindungan yang lebih baik bagi pekerja? Atau justru memperlemah posisi mereka di tengah persaingan global? Artikel ini akan mengulas secara mendalam perbandingan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dan baru, beserta dampaknya bagi pekerja Indonesia.

Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia
Sebelum membahas perbandingan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dan baru, penting untuk memahami sejarah dan latar belakang munculnya regulasi ini.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disahkan dengan tujuan melindungi hak-hak pekerja, memastikan kesejahteraan tenaga kerja, dan menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha.
Pada masa itu, Indonesia baru saja melewati krisis ekonomi dan transisi demokrasi. Pemerintah berupaya menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi dengan memberikan jaminan hukum bagi pekerja.
Undang-undang ini mencakup berbagai aspek, mulai dari hubungan kerja, upah minimum, jam kerja, lembur, cuti, jaminan sosial, hingga pemutusan hubungan kerja.
Namun seiring waktu, dunia kerja berubah drastis. Globalisasi, digitalisasi, dan perkembangan teknologi menuntut fleksibilitas yang lebih besar.
Banyak perusahaan menganggap UU lama terlalu kaku, terutama dalam hal kontrak kerja dan pesangon, sehingga kurang kompetitif di pasar global.
Inilah yang kemudian mendorong pemerintah untuk memperbarui aturan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), yang kemudian diperkuat dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Aturan teknis yang memuat detail hubungan kerja, seperti PKWT dan PHK, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
Perbedaan Mendasar Antara Undang-Undang Ketenagakerjaan Lama dan Baru
Perbedaan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dan baru dapat dilihat dari beberapa aspek utama: status kerja, pesangon, kontrak kerja, outsourcing, jam kerja, dan perlindungan sosial. Berikut penjelasan lengkapnya.
1. Status Kerja dan Hubungan Industrial
Dalam UU Ketenagakerjaan lama, pekerja tetap memiliki posisi yang lebih aman. Hubungan kerja bersifat jangka panjang, dan perusahaan wajib memberikan alasan kuat sebelum melakukan PHK. Sebaliknya, UU baru memperkenalkan konsep kerja yang lebih fleksibel.
Perusahaan dapat menyesuaikan jenis dan durasi hubungan kerja sesuai kebutuhan bisnis, termasuk kerja paruh waktu atau berbasis proyek.
2. Aturan Pesangon
Perubahan besar terjadi pada sistem pesangon. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, pekerja yang di-PHK dapat menerima pesangon hingga 32 kali gaji.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, jumlah maksimalnya diturunkan menjadi 25 kali gaji, dengan sebagian beban dibantu pemerintah melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Langkah ini dianggap lebih realistis bagi pengusaha, tetapi banyak serikat pekerja menilai pengurangan ini melemahkan perlindungan terhadap pekerja yang kehilangan pekerjaan.
3. Sistem Kerja Kontrak (PKWT)
UU lama membatasi kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) maksimal dua tahun, dengan perpanjangan satu kali selama satu tahun.
UU Cipta Kerja (melalui PP 35/2021) menghapus batasan total durasi kontrak, namun mengatur bahwa PKWT dapat dibuat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
Durasi kontrak kini lebih diserahkan pada jenis dan kebutuhan pekerjaan. Bagi pengusaha, ini memberikan fleksibilitas tinggi, tetapi bagi pekerja, penghapusan batas waktu total berpotensi menimbulkan ketidakpastian status kerja permanen.”
4. Outsourcing
Pada aturan lama, outsourcing hanya boleh dilakukan untuk pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama perusahaan, seperti keamanan, kebersihan, atau katering.
Namun, dalam UU baru, batasan tersebut dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa dilakukan melalui sistem outsourcing, asalkan memenuhi standar perlindungan yang sama.
5. Jam Kerja dan Waktu Istirahat
Baik UU lama maupun baru menetapkan jam kerja normal 40 jam per minggu. Namun, aturan baru membuka kemungkinan skema kerja yang lebih fleksibel, terutama untuk sektor ekonomi digital dan industri kreatif. Pengaturan jam kerja kini dapat disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan.
6. Perlindungan Jaminan Sosial
Undang-Undang Ketenagakerjaan baru memperkenalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai bentuk perlindungan sosial tambahan.
Program ini memberikan manfaat berupa uang tunai, akses pelatihan kerja, dan informasi lowongan kerja bagi pekerja yang di-PHK.
Penting untuk dicatat bahwa pendanaan JKP dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dan bersumber dari realokasi sebagian iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), bukan sepenuhnya beban baru bagi pengusaha atau APBN.
Meskipun inovatif, implementasinya masih perlu diperkuat agar benar-benar efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Dampak Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru bagi Pekerja
Perubahan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan memiliki dampak signifikan bagi pekerja. Di satu sisi, pekerja mendapatkan perlindungan tambahan melalui program JKP. Namun di sisi lain, fleksibilitas yang tinggi juga berpotensi menurunkan rasa aman dan kepastian kerja.
Dampak Positif:
- Peluang kerja meningkat karena perusahaan lebih berani merekrut tenaga kerja baru.
- Peningkatan efisiensi industri, terutama bagi sektor swasta dan UMKM.
- Peluang kerja fleksibel bagi generasi muda yang tidak ingin terikat sistem kerja konvensional.
Dampak Negatif:
- Ketidakpastian status kerja akibat kontrak yang dapat diperpanjang tanpa batas.
- Menurunnya nilai pesangon, membuat pekerja lebih rentan saat PHK.
- Perlu pengawasan ketat agar sistem outsourcing tidak disalahgunakan.
Dampaknya Bagi Pengusaha dan Dunia Usaha
Dari sisi pengusaha, Undang-Undang Ketenagakerjaan baru memberikan keuntungan dalam bentuk efisiensi dan kemudahan berusaha.
Biaya rekrutmen dan pemberhentian tenaga kerja menjadi lebih terkendali.Proses administrasi juga disederhanakan, sehingga perusahaan dapat fokus pada peningkatan produktivitas.
Namun, keuntungan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab moral untuk memastikan kesejahteraan pekerja. Perusahaan yang hanya mengejar efisiensi tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan dapat menghadapi risiko rendahnya loyalitas dan produktivitas tenaga kerja.
baca juga : Hitungan THR : Cara Menghitung Tunjangan Hari Raya Sesuai Aturan Terbaru

Perbandingan Perlindungan Pekerja: UU Lama vs UU Baru
Jika ditinjau dari aspek perlindungan pekerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan lama lebih menekankan jaminan keamanan kerja, sedangkan aturan baru lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja.
- UU lama → melindungi posisi pekerja tetap.
- UU baru → menciptakan sistem kerja yang lebih dinamis dan adaptif terhadap pasar global.
Kelebihan UU lama adalah memberikan stabilitas dan rasa aman, sedangkan kelemahannya adalah kurangnya fleksibilitas. Sementara itu, UU baru memberikan ruang bagi inovasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi berisiko menurunkan standar perlindungan bagi pekerja tertentu.
Fakta Lapangan dan Tanggapan Publik terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, tanggapan publik sangat beragam. Serikat pekerja melakukan berbagai aksi protes karena menilai aturan baru menguntungkan pengusaha. Mereka menyoroti berkurangnya nilai pesangon, perluasan outsourcing, dan fleksibilitas kontrak tanpa batas waktu.
Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan investor memuji kebijakan ini karena dianggap mampu memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Pemerintah pun menegaskan bahwa perubahan ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi perlindungan pekerja, melainkan menyesuaikan dengan tantangan ekonomi modern.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan UU baru masih menghadapi kendala. Banyak perusahaan belum memahami sepenuhnya aturan teknisnya, sementara pengawasan pemerintah di beberapa daerah masih lemah. Akibatnya, manfaat yang dijanjikan belum dirasakan secara merata.
Analisis: Mana yang Lebih Melindungi Pekerja?
Menentukan mana yang lebih melindungi pekerja antara Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dan baru tidak bisa dijawab secara mutlak.
UU lama memberikan perlindungan kuat tetapi memperlambat penciptaan lapangan kerja. UU baru meningkatkan efisiensi, namun memerlukan sistem pengawasan ketat agar tidak dimanfaatkan secara sepihak.
Dari sudut pandang kesejahteraan, perlindungan pekerja bukan hanya soal besarnya pesangon, tetapi juga kepastian memperoleh pekerjaan baru, peningkatan keterampilan, dan kesempatan beradaptasi di era digital.
Jika implementasi JKP dan pelatihan kerja dapat berjalan optimal, maka UU baru berpotensi menjadi solusi jangka panjang bagi ketenagakerjaan Indonesia.
baca juga : Pengertian Ketenagakerjaan : Arti, Tujuan, dan Fungsi dalam Dunia Kerja
Kesimpulan: Keseimbangan Antara Perlindungan dan Fleksibilitas
Baik Undang-Undang Ketenagakerjaan lama maupun baru memiliki tujuan yang sama: menciptakan hubungan kerja yang adil antara pekerja dan pengusaha.
Perbedaannya hanya terletak pada pendekatan. UU lama menitikberatkan perlindungan statis, sementara UU baru berfokus pada fleksibilitas dinamis.
Agar Undang-Undang Ketenagakerjaan benar-benar melindungi pekerja sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja.
Pemerintah harus memperkuat pengawasan dan memastikan program JKP berjalan efektif. Perusahaan perlu menanamkan budaya kerja yang manusiawi, sementara pekerja harus aktif meningkatkan keterampilan agar mampu bersaing.
Perubahan regulasi hanyalah alat. Perlindungan sejati bagi pekerja akan terwujud jika semua pihak menjalankan perannya dengan adil dan bertanggung jawab.
Mau kelola karyawan lebih mudah dan tanpa stres? Proses yang sederhana dan terorganisir membuat pekerjaan HR jadi lebih lancar. Jangan biarkan pengelolaan yang rumit menghambat tim Anda. Konsultasi sekarang untuk solusi yang praktis dan efisien!


