Isi UU Cipta Kerja – adalah rangkaian ketentuan hukum yang mengatur berbagai sektor dalam satu undang-undang terpadu (omnibus law) dengan tujuan utama untuk meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan menyederhanakan regulasi usaha di Indonesia.
Undang-Undang ini pertama kali disahkan sebagai UU No. 11 Tahun 2020, dan kemudian diperbarui melalui UU No. 6 Tahun 2023 (hasil penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022).
Latar Belakang dan Struktur UU Cipta Kerja

Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikenal sebagai Omnibus Law merupakan regulasi komprehensif yang menggabungkan berbagai UU dalam satu payung hukum. Terdiri atas 15 bab dan 186 pasal, UU ini bertujuan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan mempermudah iklim investasi nasional.
UU Cipta Kerja dibagi ke dalam 11 klaster, antara lain:
- Perizinan berusaha
- UMKM dan koperasi
- Investasi
- Ketenagakerjaan
- Fasilitas fiskal/perpajakan
- Lingkungan
… serta lainnya seperti pengadaan lahan dan kawasan ekonomi
Fokus Klaster Ketenagakerjaan
Klaster ketenagakerjaan menjadi sorotan penting karena menyentuh hak-hak dasar pekerja. UU ini mengubah, menambah, bahkan menghapus sejumlah pasal dari UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003), serta UU terkait lainnya.
Tercatat 31 pasal diubah, 29 dihapus, dan 13 pasal baru ditambahkan dalam UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja
Baca Juga : Jangan Kaget! Ini Perubahan Besar Undang Undang Omnibus Law
Berikut substansi pokoknya:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
- Durasi maksimum diperpanjang hingga 5 tahun (sebelumnya maksimal 3 tahun).
- Kompensasi tunai wajib diberikan kepada pekerja PKWT yang telah bekerja minimal 1 bulan sebesar proporsional masa kerja.
- Ketentuan tentang ganti rugi atas pemutusan kontrak sebelum masa selesai juga dihapus.
b. Jam Kerja & Lembur
- Jam lembur diperpanjang menjadi 4 jam/hari dan 18 jam/minggu, dari sebelumnya 3 jam/hari dan 14 jam/minggu.
c. Upah Minimum & Sistem Upah
- Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi satu-satunya kewajiban. UMK bersifat opsional yang tergantung kondisi ekonomi wilayah.
- Upah minimum ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan (bukan kebutuhan hidup layak).
- Pengenalan upah per jam untuk pekerja paruh waktu (rumus: upah sebulan × 1/162).
- Adanya bonus atau penghargaan berbasis kinerja bagi pekerja.
d. Pesangon dan Kompensasi PHK
- Beberapa kategori pesangon dihapus, seperti uang penggantian hak, penghargaan masa kerja ≥ 24 tahun, dan pesangon untuk kasus tertentu seperti PHK karena peringatan atau efisiensi.
- Kompensasi turun menjadi antara 0,5–2 kali upah, tergantung kasus PHK .
e. Tenaga Kerja Asing (TKA)
- Persyaratan untuk memakai TKA dipermudah IMTA dihapus, cukup RPTKA saja.
- Pembatasan berlaku: hanya untuk jabatan, waktu khusus, dan posisi non-personalia. Sertifikasi keahlian juga diwajibkan.
f. Jaminan Sosial – JKP
- Tambahan baru: Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui BPJS Ketenagakerjaan, memberikan tunjangan dan pelatihan kerja selama maksimal 6 bulan (45% upah 3 bulan pertama, 25% selama 3 bulan berikutnya).
- Sanksi pidana untuk perusahaan yang tidak menanggung jaminan pensiun dihapus.
Putusan MK Terkait Klaster Ketenagakerjaan

Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar klaster ketenagakerjaan dipisahkan dari UU Cipta Kerja dan diatur secara terpisah dalam waktu dua tahun. MK menyoroti ketidakpastian hukum dan konflik regulasi yang muncul. Beberapa penekanan MK:
- PKWT maksimal 5 tahun dan harus tertulis.
- Outsourcing harus diatur dengan jelas lewat undang-undang, bukan hanya peraturan pemerintah.
- Penetapan upah harus melibatkan berbagai pihak (pemerintah, pengusaha, serikat) dan memperhatikan kesejahteraan pekerja serta struktur dan skala upah yang proporsional.
Baca Juga : Pelajari Manajemen Risiko Perusahaan di Sini!
Bingung memilih sistem HR yang paling sesuai untuk perusahaan? Sistem yang tepat akan memudahkan pengelolaan sumber daya manusia dan meningkatkan efisiensi. Jangan salah pilih yang bisa merugikan bisnis Anda. Konsultasi sekarang dan dapatkan rekomendasi terbaik dari ahlinya!
